Fitrah

Konsep fitrah disebutkan secara eksplisit dan mendapat dukungan kuat dalam Al-Qur’an, terutama dalam Surah Ar-Rum (Surah ke-30), ayat 30. Ayat ini dianggap mendasar dalam memahami perspektif Islam tentang sifat manusia.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Frasa kunci dalam ayat ini sangat penting untuk memahami fitrah. Perintah untuk “hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), cenderung kepada kebenaran (Hanifan)” menyoroti kecenderungan alami manusia terhadap agama yang benar.

“Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” secara langsung mengidentifikasi fitrah sebagai cetak biru ilahi atau sifat inheren dengan mana Allah telah menciptakan manusia. Pernyataan selanjutnya, “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” menunjukkan kekekalan dan kesempurnaan sifat inheren ini.

Dan pernyataan “Itulah agama yang lurus” secara langsung menghubungkan fitrah dengan Islam, menyiratkan bahwa Islam adalah agama yang selaras sempurna dengan disposisi alami dan primordial manusia.

Berbagai ahli tafsir Al-Qur’an seperti Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menekankan, bahwa fitrah mengacu pada kapasitas bawaan dalam diri manusia untuk mengenali dan menerima kebenaran Islam. Kapasitas bawaan ini dipahami sebagai kesiapan mental untuk kebaikan dan kecenderungan alami terhadap keesaan Allah.

QS Al-A’raf (7) : 172 menyebutkan, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (dahulu) adalah orang-orang yang lengah (terhadap keesaan Tuhan)”.

AYAT ini sering ditafsirkan sebagai merujuk pada perjanjian primordial antara Allah dan umat manusia, di mana semua jiwa mengakui Ketuhanan Allah bahkan sebelum kelahiran fisik mereka. Hal ini terkait erat dengan fitrah, menunjukkan kesadaran bawaan akan ilahi yang tertanam dalam sifat manusia sejak awal keberadaannya. Pengakuan prenatal terhadap keesaan Allah (Tauhid) ini dianggap sebagai aspek fundamental dari fitrah.

Penyebutan eksplisit fitrah dalam Surah Ar-Rum (30) : 30 dan narasi tentang perjanjian primordial dalam Surah Al-A’raf (7:172) memberikan landasan tekstual yang kuat untuk konsep sifat manusia yang bawaan dan ditakdirkan secara ilahi yang berorientasi pada kebenaran dan pengakuan akan Allah.

Islam memandang religiusitas bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar, melainkan sebagai sesuatu yang beresonansi secara mendalam dengan disposisi inheren manusia. Hubungan antara fitrah dan perjanjian primordial menyiratkan bahwa jiwa manusia memiliki pengetahuan yang sudah ada sebelumnya tentang Allah.

Tentu pengetahuan ini bertindak sebagai kompas internal, membimbing individu menuju iman. Penyimpangan dari jalan ini kemudian dilihat sebagai penutupan atau distorsi dari pemahaman bawaan ini. Frasa “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” dalam Surah Ar-Rum (30:30) telah ditafsirkan oleh para ulama untuk menunjukkan bahwa inti fitrah tetap konstan di semua individu, terlepas dari variasi dalam keadaan dan keyakinan eksternal mereka.

Potensi universal manusia disiratkan untuk kebaikan dan untuk mengenali kebenaran keesaan Allah. Sementara faktor eksternal dapat mempengaruhi manifestasi lahiriah fitrah, potensi mendasar untuk kebaikan dan kepercayaan kepada Allah tetap ada. Ini memberikan dasar untuk optimisme dalam membimbing individu menuju jalan yang benar, karena selaras dengan sifat fundamental mereka.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *